19 Jul 2025 | Dilihat: 1205 Kali

GBI Rayon 8 Samarinda Bahas AI dan Gereja Masa Depan di Usia ke-11

noeh21
      
Sekda TV sekdatv.com, SAMARINDA - Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon 8 Samarinda menggelar peringatan hari jadinya yang ke-11 dengan semangat yang tak sekadar seremonial. Bertempat di Hotel Haris Samarinda, pada Kamis, 17 Juli 2024, perayaan ini justru menyoroti tema yang terbilang tidak lazim dalam lingkup keagamaan yakni, peran Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan gereja dan tantangan yang dihadapi umat beragama ke depan.

"Ulang tahun ke-11 ini kami maknai bukan hanya sebagai selebrasi internal, tetapi sebagai momen reflektif bahwa gereja harus menjadi berkat bagi tubuh Kristus secara luas. Gereja harus berdampak bagi gereja-gereja lain di kota ini," ujar Pendeta Apius Rupang, kepada wak media.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, GBI Rayon 8 Samarinda menghadirkan seminar bertajuk AI dan Gereja Masa Depan Menyongsong Indonesia Emas 2045. Pendeta Apius menyebut, ini sebagai langkah konkret agar gereja memahami dan menyikapi tantangan zaman secara bijak.

Menurutnya, fenomena kecerdasan buatan bukan hanya menyentuh ranah teknologi informasi dan industri, tetapi juga akan memengaruhi cara hidup umat beragama, termasuk cara gereja melayani jemaat dan masyarakat.

"Ini bukan cuma persoalan gereja. Semua agama akan menghadapi tantangan yang sama. AI bisa jadi alat yang sangat positif, tapi kalau salah digunakan juga bisa merusak," ujarnya.

Menariknya, pembicara utama dalam seminar tersebut adalah seorang jenderal polisi yakni, Irjen. Pol. Yehu Wangsajaya. Ia disebut sebagai satu-satunya perwira tinggi (Pati) di lingkungan Polri yang menyandang gelar Master Komputer.

"Beliau ini bukan hanya petinggi kepolisian, tapi juga punya pemahaman yang sangat dalam soal teknologi, termasuk AI. Kehadirannya memberi perspektif yang kuat tentang bagaimana kita semua gereja, umat, bahkan aparat harus bersiap menghadapi perubahan zaman," tutur Pendeta Apius.

Ia menilai, sosok seperti Irjen Yehu menjembatani dua dunia yang sering kali dianggap berjauhan, iman dan teknologi.

Pendeta Apius menegaskan bahwa seminar ini tak semata ditujukan untuk internal GBI atau bahkan hanya umat Kristen. Ia berharap, rumah ibadah dari berbagai agama bisa ikut mempersiapkan diri menghadapi gelombang perubahan yang ditimbulkan oleh teknologi digital.

"AI tidak mengenal batas iman. Karena itu, gereja maupun semua rumah ibadah harus mengerti bahwa tantangan ini bersifat lintas agama. Kita perlu saling berbagi, belajar, dan saling memperkuat," katanya.

Perjalanan GBI Rayon 8 selama lebih dari satu dekade, kata Pendeta Apius, telah membawa banyak pelajaran. Salah satunya adalah pentingnya menanggapi perubahan sosial dan budaya secara kontekstual. Ia berharap gereja tidak terjebak dalam rutinitas internal, tapi menjadi bagian dari jawaban atas persoalan masyarakat.

"Kami ingin menunjukkan bahwa gereja tidak anti-perubahan. Kami terbuka, berpikir ke depan, dan berupaya terus menjadi relevan bagi masyarakat," ujarnya.

Dalam seminar tersebut, tema utama yang dibahas adalah bagaimana gereja menyikapi transformasi digital tanpa kehilangan nilai-nilai spiritualitas. Isu etika dalam penggunaan AI, disinformasi digital, hingga potensi alienasi manusia dalam dunia yang semakin terotomatisasi, menjadi topik hangat.

Pendeta Apius menekankan, justru di tengah dunia yang makin terhubung secara virtual, gereja harus memperkuat relasi nyata antarumat.

"Gereja masa depan harus hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga secara digital dan itu harus disiapkan sejak sekarang. Tapi kita tidak boleh kehilangan nilai-nilai kasih, pengampunan, dan solidaritas yang menjadi inti kekristenan," ujarnya.

Dalam usianya yang ke-11, GBI Rayon 8 Samarinda ingin mengukuhkan posisinya sebagai gereja yang terbuka terhadap dinamika zaman. Melalui kegiatan seperti seminar AI ini, pihaknya ingin menunjukkan bahwa gereja tidak hidup dalam menara gading.

"Ini bentuk tanggung jawab kami sebagai bagian dari masyarakat kota ini. Gereja harus mampu menjadi terang dan garam bukan hanya dalam doktrin, tapi dalam praktik dan keterlibatan sosial," ucap Pendeta Apius.

Ia juga berharap perayaan semacam ini bisa menjadi inspirasi bagi gereja-gereja lain di Samarinda untuk aktif membaca tanda-tanda zaman.

Terakhir, Pendeta Apius menggarisbawahi bahwa ulang tahun gereja bukanlah tujuan akhir, melainkan momentum untuk kembali ke panggilan utama, menjadi berkat bagi kota.

"Kami ingin mempersembahkan sesuatu yang bermanfaat bagi tubuh Kristus di Samarinda. Gereja yang hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk seluruh masyarakat," pungkasnya. 
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas