19 Jul 2025 | Dilihat: 1183 Kali

Irjen Yehu Wangsajaya: Gunakan AI, Tapi Jangan Gantikan Peran Rohani

noeh21
      
Sekda TV sekdatv.com, SAMARINDA - Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) perlahan-lahan telah merambah ke berbagai sendi kehidupan manusia. Ia menjelma menjadi teknologi yang bukan saja membantu, tetapi juga menantang pola berpikir dan cara kerja konvensional.
 
Namun bagi Irjen Pol. Dr. Drs. Yehu Wangsajaya, M.Kom., keberadaan AI bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Menurutnya, AI adalah alat bantu yang lahir dari buah pemikiran para ahli, dengan tujuan utama meringankan pekerjaan manusia.
 
Hal ini disampaikannya usai membawakan seminar yang bertajuk "Artificial Intelligence dan Gereja di Masa Depan" yang sekaligus dalam rangka Anniversary Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon 8 Samarinda, di Hotel Haris, pada Kamis, 17 Juli 2024.
 
Di hadapan peserta seminar, Yehu berbicara tentang potensi AI, tantangan etisnya, serta bagaimana seharusnya komunitas Kristen menyikapi teknologi ini.
 
"Hal yang positif sebenarnya, orang-orang ahli membuat itu (AI) untuk membantu manusia supaya kita lebih mudah dalam bekerja," kata Irjen Pol Yehu usai sesi seminar berakhir.
 
Ia menekankan bahwa AI adalah produk dari machine learning, sistem yang terus berkembang melalui pembelajaran data. Dengan mekanisme ini, AI mampu menganalisis masalah yang kompleks secara lebih efisien.
 
"Ini machine learning, ya. Mesin yang selalu belajar bagaimana dia untuk mencari dan memecahkan masalah," jelasnya.
 
Menurut dia, karakter utama AI adalah adaptif. Ia menyerap data, mengidentifikasi pola, dan kemudian menawarkan solusi. Dalam banyak kasus, AI bahkan mampu memberi jalan keluar atas permasalahan yang tak mudah dijawab oleh logika manusia.
 
"Masalah apa pun yang dihadapi oleh manusia, AI akan bantu untuk memecahkannya. Solusinya bagaimana, itu bisa dipelajari dan dihasilkan oleh AI," ujar pria lulusan ilmu komputer ini.
 
Namun Yehu juga tidak menampik bahwa pesatnya perkembangan AI menyisakan sejumlah kekhawatiran. Salah satunya, kecenderungan manusia untuk menggantungkan fungsi-fungsi spiritual dan moral pada teknologi.
 
Di sinilah, menurutnya, garis batas harus ditegaskan. "Kalau kita orang-orang Kristen ingin menggunakan AI, itu sangat bagus," katanya.
 
"Tapi jangan dijadikan AI-nya sebagai pendeta atau pembaca khotbah," lanjutnya sambil senyum. Pernyataan ini kontan mendapat respons antusias dari peserta seminar yang sebelumnya diajak berdiskusi soal batas etis AI dalam konteks gerejawi.
 
Yehu menjelaskan bahwa spiritualitas dan iman adalah ranah yang tidak bisa digantikan oleh sistem algoritma. Sebab dalam ruang tersebut, manusia hadir bukan hanya sebagai makhluk rasional, tetapi juga spiritual dan emosional.
 
Menurut dia, AI bisa digunakan dalam banyak aspek, mulai dari menulis naskah, menyusun materi presentasi, hingga menggubah lagu rohani. Namun, pencerahan batin dan nilai-nilai iman tetap harus datang dari manusia sendiri.
 
"AI itu bisa membuat segala hal. Dari lirik lagu sampai ke lagunya bisa dibuat," katanya.
 
Akan tetapi, lanjutnya, teknologi hanyalah alat. Ia perlu dikuasai dan diarahkan agar tidak malah menyesatkan. "Jadi jangan alergi sama AI," ucapnya.
 
Ketimbang takut atau menolak, Yehu mendorong masyarakat, khususnya generasi muda Kristen, untuk mempelajari AI secara utuh. Dengan memahami sistem kerja dan logika di baliknya, masyarakat dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari teknologi ini.
 
"Pelajari terus sampai kita bisa mengendalikan AI itu ke arah yang lebih positif dan lebih baik," tuturnya.
 
Ia juga menambahkan bahwa pemahaman terhadap AI akan membentengi generasi muda dari pemanfaatan yang keliru. Tanpa pemahaman, kata dia, teknologi justru berpotensi menjauhkan manusia dari jati dirinya.
 
Dalam pandangannya, teknologi yang tidak dikendalikan dengan nilai-nilai etis bisa mengikis sisi kemanusiaan. "Manusia itu bukan sekadar makhluk cerdas. Kita punya hati nurani, dan itu tak bisa digantikan oleh mesin," ujarnya.
 
Ia juga menyinggung pentingnya literasi digital yang merata di semua kalangan. Literasi digital, menurutnya, bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga menyangkut daya kritis terhadap informasi dan teknologi.
 
"Kita tidak boleh hanya jadi pengguna yang pasif. Kita harus aktif mengarahkan kemana teknologi ini berjalan," katanya.
 
Sebagai jenderal polisi sekaligus akademikus, Yehu melihat banyak peluang positif dalam penerapan AI, termasuk dalam dunia pelayanan publik dan sistem keamanan.
 
Namun ia menegaskan bahwa pemanfaatan itu harus dibarengi dengan komitmen moral dan kontrol manusia. "AI itu tidak punya kesadaran moral. Maka manusialah yang harus tetap jadi pengendali," kata dia.
 
Ia berharap gereja, lembaga pendidikan, dan komunitas keagamaan tidak menutup diri terhadap AI. Justru sebaliknya, ruang-ruang tersebut harus menjadi pelopor dalam pemanfaatan AI secara etis dan produktif.
 
"Kalau kita alergi, kita akan tertinggal. Tapi kalau kita pelajari, kita bisa jadi pelaku utama dalam perubahan," ujarnya.
 
Dengan nada optimis, ia menyebut bahwa generasi Kristen masa kini berada di persimpangan penting antara ketertinggalan dan kepeloporan dalam era digital ini.
 
"Pilihannya ada di tangan kita. Mau sekadar jadi penonton, atau ikut menjadi pengarah," ucapnya.
 
Seminar 'Artificial Intelligence dan Gereja di Masa Depan yang digelar GBI Rayon 8 Samarinda ini menjadi bagian dari perayaan ulang tahun gereja tersebut, dan dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan.
 
Diskusi yang berlangsung selama hampir 3 jam ini diwarnai antusias peserta, terutama kaum muda yang penasaran dengan peran AI dalam dunia keimanan dan pelayanan sosial.
 
Yehu menutup pertemuan dengan satu pesan yang lugas namun mengena: "Teknologi boleh hebat, tapi hati manusia tetap yang utama." Tutup Irjen Pol Yehu Wangsajaya. 
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas